Wednesday, January 9, 2013

Membaca tanka; Mariko Kitakubo dan resilience


Di antara banyak nama koleganya, Mariko Kitakubo adalah penyair yang langsung membuat saya langsung jatuh cinta meskipun baru membaca sedikit karyanya. Lahir, tumbuh dan tinggal di Tokyo, Kitakubo mulai menulis tanka pada usia 14 tahun di bawah pengaruh Shuji Terayama and Mr. Kan Kasugai. Sepanjang karir kepenyairannya, Kitakubo terlibat dalam berbagai festival dan tanka, sekaligus menjadi penulis untuk berbagai jurnal internasional. Ia menerbitkan sejumlah buku dalam bahasa Inggris yang penerjemahannya ia percayakan kepada penyair-sahabatnya Amelia Fielden. Menurutnya, sejauh ini Amelia adalah satu-satunya penyair yang mampu menerjemahkan karya-karya Kitakubo tanpa kehilangan nafas dan citarasa aslinya.

Pada catatan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya membaca salah satu tanka Kitakubo yang diterbitkan di Ribbon, Vol. 8 No. 1, Spring/Summer 2012.

a year later
little by little
he starts
to talk about tsunami
sunset to the debris

Seperti terlihat dari susunannya, tanka Kitakubo tidak memiliki ciri konvensional; lain dari bentuk waka yang kemudian melahirkan haiku sebagai genre tersendiri. Pada waka atau tanka konvensional, pivot line lazim ada di baris ketiga yang hampir selalu menjadi pijakan untuk menulis dua baris berikutnya. Pola konvensional semacam ini, saya kira adalah bawaan tradisi penulisan melalui permainan haikai no renga atau renku yang melibatkan dua orang penyair. Kebanyakan tanka Shiki Masaoka, hasil penerjemahan Sanford Goldstein dan Seishi Shinoda dari Takenosato Uta misalnya, menunjukkan ciri itu;

as if to overwhelm the garden
the rose moss
has begun to bloom,
and from the cicadas at Ueno
noisy incessant cries 

from this face of mine
reflected in a mirror
I shape a head in clay
say, I've turned it
into an earthen bonze!

Dua tanka Shiki tersebut terlihat memiliki dua struktur; hokku pada tiga baris pertama yang bisa berdiri sendiri sebagai haiku sebagaimana yang kita kenal sekarang, dan wakiku pada dua baris terakhir yang memanfaatkan pivot line di baris ketiga untuk membentuk cocrete imagery.  Masih banyak karya Kitakubo yang memiliki ciri konvensional itu, namun sebagian lainnya berkembang dengan struktur yang beragam. Sekarang, mari kita amati tanka yang saya kutip di awal catatan ini.

Tanka Kitakubo itu ditulis selang setahun setelah gempa besar bermagnitude 9 melanda Jepang disusul tsunami yang merusak reaktor nuklir Fukushima Daiichi. Ribuan orang meninggal dan kehilangan tempat tinggal menutup kalender musim dingin di negeri itu. Namun, dibanding kasus-kasus bencana di Indonesia, kerusakan masif akibat tsunami dan gempa di Jepang konon tidak diikuti oleh haru biru dan eksploitasi airmata melalui layar televisi. Mereka yang hidup di negeri dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi itu menghadapinya dengan tabah. Mereka tidak larut dalam kecengengan, sekalipun bantuan dan solidaritas mengalir dari berbagai penjuru dunia. 

Kendati begitu, meskipun sudah diduga, bencana tetaplah bencana yang meninggalkan trauma pada korban-nya. Tsunami di Jepang bukanlah pengecualian. Berita-berita yang sempat saya simak belakangan mengabarkan banyaknya relawan seniman yang turun memberikan layanan pemulihan pasca trauma psikologis (trauma healing). Salah satu yang mereka lakukan adalah mengolah bebatuan yang berserakan akibat gempa. Mereka memilih bebatuan yang bagus dan membentuknya menjadi suzuri yang digunakan untuk memproduksi cairan tinta (sumi) dengan cara menggosokkan tinta batangan pada permukaannya, dengan tambahan sedikit air tentu saja. Batu bungkal atau suzuri ini adalah satu dari four treasures dalam seni kaligrafi atau sumi-e selain kuas (fude), rice paper dan tinta.

Upaya pemulihan tidak selalu mudah dan bisa selesai cepat. Di Aceh, yang dilanda tsunami pada akhir 2004, seorang perempuan yang kehilangan keluarganya masih sering tiba-tiba menjerit histeris pada tahun 2009. Karenanya, waktu setahun pemulihan pasca trauma yang dicatat oleh tanka Kitakubo dapat dibilang cukup cepat. Pemulihan? Ya, seperti yang ditulis Kitakubo, salah satu penanda pemulihan trauma adalah kemampuan korban (survivor) membicarakan penyebab luka psikologis itu. Semakin resilient seseorang, semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk pulih dan menjalani kehidupan pasca bencana secara normal. Hal yang sama berlaku pula pada tingkat komunitas.

Resilience pada tataran komunitas ini, antara lain ditunjukkan oleh interaksi sosial yang tetap baik meskipun dalam situasi berantakan. Seperti dilaporkan ABC News, masyarakat Jepang yang menjadi korban tsunami mau menunggu berjam-jam sebelum mendapatkan bantuan, atau antri di depan toko yang masih buka untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Mereka hanya sedikit jengkel tapi tidak saling jegal, saling sikut dan saling jarah seperti yang terjadi Haiti dan New Orleans.  

a year later
little by little
he starts
to talk about tsunami

Dan empat baris pertama tanka Kitakubo bercerita tentang resilience yang memungkinkan seseorang bangkit setelah jatuh. Dan, "dia" dalam tanka itu sedikit demi sedikit membicarakan tsunami yang mungkin mengambil harta, kekasih dan keluarga yang dicintai. Sebagai pembaca yang bukan warga Jepang, kita dapat memproyeksikan image itu pada kasus-kasus kejadian bencana dan sesudahnya yang terjadi di negeri ini. Boleh jadi, yang muncul dalam fikiran kita adalah citra yang kontras dan memalukan; masyarakat yang merengek-rengek berkepanjangan dan pemerintah yang lamban dan kerap bertindak bodoh dalam memberikan respon terhadap bencana.

Dalam wawancaranya dengan Robert D. Wilson dari Simply Haiku, Kitakubo menekankan pentingnya baris keempat dan kelima, dan terutama sekali baris terakhir. Dan, pada kasus haiku yang saya bicarakan ini, terasa benar peran baris kelima, sebagai baris penutup sekaligus pembawa pesan kunci yang ada pada keseluruhan puisinya itu. 

sunset to the debris

Baris penutup ini melengkapi sensitivitas Kitakubo sebagai penyair yang mencatat, yang memberi kesaksian terhadap sebuah peristiwa. Ia menangkap ambience dari penuturan "dia" tentang tsunami yang melukai. Tanka ini terasa murung namun ada kekuatan dan harapan yang dituturkan.

No comments:

Post a Comment