Di antara banyak nama koleganya, Mariko Kitakubo adalah penyair
yang langsung membuat saya langsung jatuh cinta meskipun baru membaca sedikit
karyanya. Lahir, tumbuh dan tinggal di Tokyo, Kitakubo mulai menulis tanka pada
usia 14 tahun di bawah pengaruh Shuji Terayama and Mr. Kan Kasugai.
Sepanjang karir kepenyairannya, Kitakubo terlibat dalam berbagai festival dan
tanka, sekaligus menjadi penulis untuk berbagai jurnal internasional. Ia
menerbitkan sejumlah buku dalam bahasa Inggris yang penerjemahannya ia
percayakan kepada penyair-sahabatnya Amelia Fielden. Menurutnya, sejauh ini
Amelia adalah satu-satunya penyair yang mampu menerjemahkan karya-karya
Kitakubo tanpa kehilangan nafas dan citarasa aslinya.
Pada catatan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya membaca
salah satu tanka Kitakubo yang diterbitkan di Ribbon, Vol. 8 No. 1,
Spring/Summer 2012.
a year later
little by little
he starts
to talk about tsunami
sunset to the debris
Seperti terlihat dari susunannya, tanka Kitakubo tidak memiliki
ciri konvensional; lain dari bentuk waka yang kemudian melahirkan haiku sebagai
genre tersendiri. Pada waka atau tanka konvensional, pivot line lazim ada di
baris ketiga yang hampir selalu menjadi pijakan untuk menulis dua baris
berikutnya. Pola konvensional semacam ini, saya kira adalah bawaan tradisi
penulisan melalui permainan haikai no renga atau renku yang melibatkan dua
orang penyair. Kebanyakan tanka Shiki Masaoka, hasil penerjemahan Sanford
Goldstein dan Seishi Shinoda dari Takenosato Uta misalnya, menunjukkan ciri
itu;
as if to overwhelm the garden
the rose moss
has begun to bloom,
and from the cicadas at Ueno
noisy incessant cries
from this face of mine
reflected in a mirror
I shape a head in clay
say, I've turned it
into an earthen bonze!
Dua tanka Shiki tersebut terlihat memiliki dua struktur;
hokku pada tiga baris pertama yang bisa berdiri sendiri sebagai haiku
sebagaimana yang kita kenal sekarang, dan wakiku pada dua baris terakhir
yang memanfaatkan pivot line di baris ketiga untuk membentuk cocrete imagery.
Masih banyak karya Kitakubo yang memiliki ciri konvensional itu, namun
sebagian lainnya berkembang dengan struktur yang beragam. Sekarang, mari kita
amati tanka yang saya kutip di awal catatan ini.
Tanka Kitakubo itu ditulis selang setahun setelah gempa besar
bermagnitude 9 melanda Jepang disusul tsunami yang merusak reaktor nuklir
Fukushima Daiichi. Ribuan orang meninggal dan kehilangan tempat tinggal menutup
kalender musim dingin di negeri itu. Namun, dibanding kasus-kasus bencana di
Indonesia, kerusakan masif akibat tsunami dan gempa di Jepang konon tidak
diikuti oleh haru biru dan eksploitasi airmata melalui layar televisi. Mereka
yang hidup di negeri dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi itu
menghadapinya dengan tabah. Mereka tidak larut dalam kecengengan, sekalipun
bantuan dan solidaritas mengalir dari berbagai penjuru dunia.
Kendati begitu, meskipun sudah diduga, bencana tetaplah bencana
yang meninggalkan trauma pada korban-nya. Tsunami di Jepang bukanlah
pengecualian. Berita-berita yang sempat saya simak belakangan mengabarkan
banyaknya relawan seniman yang turun memberikan layanan pemulihan pasca trauma
psikologis (trauma healing). Salah satu yang mereka lakukan adalah mengolah
bebatuan yang berserakan akibat gempa. Mereka memilih bebatuan yang bagus
dan membentuknya menjadi suzuri yang digunakan untuk memproduksi cairan
tinta (sumi) dengan cara menggosokkan tinta batangan pada permukaannya,
dengan tambahan sedikit air tentu saja. Batu bungkal atau suzuri ini
adalah satu dari four treasures dalam seni kaligrafi atau
sumi-e selain kuas (fude), rice paper dan tinta.
Upaya pemulihan tidak selalu mudah dan bisa selesai cepat. Di
Aceh, yang dilanda tsunami pada akhir 2004, seorang perempuan yang kehilangan
keluarganya masih sering tiba-tiba menjerit histeris pada tahun 2009.
Karenanya, waktu setahun pemulihan pasca trauma yang dicatat oleh tanka
Kitakubo dapat dibilang cukup cepat. Pemulihan? Ya, seperti yang ditulis
Kitakubo, salah satu penanda pemulihan trauma adalah kemampuan korban
(survivor) membicarakan penyebab luka psikologis itu. Semakin resilient
seseorang, semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk pulih dan menjalani
kehidupan pasca bencana secara normal. Hal yang sama berlaku pula pada tingkat
komunitas.
Resilience pada tataran komunitas ini, antara lain ditunjukkan
oleh interaksi sosial yang tetap baik meskipun dalam situasi
berantakan. Seperti dilaporkan ABC News, masyarakat Jepang yang menjadi korban
tsunami mau menunggu berjam-jam sebelum mendapatkan bantuan, atau antri di
depan toko yang masih buka untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Mereka
hanya sedikit jengkel tapi tidak saling jegal, saling sikut dan saling jarah
seperti yang terjadi Haiti dan New Orleans.
a year later
little by little
he starts
to talk about tsunami
Dan empat baris pertama tanka Kitakubo bercerita
tentang resilience yang memungkinkan seseorang bangkit setelah jatuh. Dan,
"dia" dalam tanka itu sedikit demi sedikit membicarakan tsunami yang
mungkin mengambil harta, kekasih dan keluarga yang dicintai. Sebagai
pembaca yang bukan warga Jepang, kita dapat memproyeksikan image itu
pada kasus-kasus kejadian bencana dan sesudahnya yang terjadi di negeri ini.
Boleh jadi, yang muncul dalam fikiran kita adalah citra yang kontras dan
memalukan; masyarakat yang merengek-rengek berkepanjangan dan pemerintah yang
lamban dan kerap bertindak bodoh dalam memberikan respon terhadap bencana.
Dalam wawancaranya dengan Robert D. Wilson dari Simply Haiku,
Kitakubo menekankan pentingnya baris keempat dan kelima, dan terutama
sekali baris terakhir. Dan, pada kasus haiku yang saya bicarakan ini, terasa
benar peran baris kelima, sebagai baris penutup sekaligus pembawa pesan kunci
yang ada pada keseluruhan puisinya itu.
sunset to the debris
Baris penutup ini
melengkapi sensitivitas Kitakubo sebagai penyair yang mencatat, yang memberi
kesaksian terhadap sebuah peristiwa. Ia menangkap ambience dari penuturan
"dia" tentang tsunami yang melukai. Tanka ini terasa murung namun ada
kekuatan dan harapan yang dituturkan.
No comments:
Post a Comment