Wednesday, January 9, 2013

Membaca haiku Anita Virgil: kesederhanaan, ironi dan jukstaposisi


Tanpa sengaja saya menemukan satu haiku yang tak kunjung membosankan meskipun berkali-kali saya baca. Haiku ini ditulis oleh Anita Virgil, dimuat di edisi pertama Modern Haiku, Winter 1969, halaman 10. 

Lighting the lamp
dusk
becomes night

Haiku ini benar-benar simplicity at its essence, terlihat dari strukturnya, pilihan katanya, maupun imageries yang terbentuk. Seperti dikatakan beberapa master, haiku is a poetry of common words, puisi dengan kata-kata yang biasa. Ia tidak bermegah-megah dengan diksi yang diambil dari kosakata seseorang dengan penguasaan 100.000 kata. Tingkat penguasaan itu, seorang rekan pernah bilang, adalah syarat untuk membaca karya klasik Shakespeare atau Dickens tanpa kesulitan. Tapi haiku Anita ini tidak menuntut kemampuan setingkat itu.

Selanjutnya, struktur haiku Anita juga biasa saja, dengan dua visual imageries yang membentuk kontras antara gelap (night) dan terang (light/lamp) dan peralihan antara keduanya (dusk). "Lighting the lamp" menjadi fragmen sedangkan "dusk" dan "becomes night" membentuk frasa yang tersambung sebagai satu kalimat sederhana. 

Jika baris 2 dan 3 ditulis dalam satu baris, pola konjungsinya akan sama dengan beris pertama. Namun, Anita sepertinya dengan sengaja memisahkan "dusk" dari "becomes night" untuk mendapatkan efek yang berbeda dibanding yang mungkin ditimbulkan oleh baris pertama. Selain memberi waktu jeda kepada pembaca di akhir baris kedua, Anita juga menjadikan "becomes night" lebih menonjol sebagai satu baris tersendiri. 

Meskipun sederhana dan minimalis --hanya 8 suku kata!-- haiku ini sangat masterful karena dalam kesederhanaannya Anita memadukan wordplay, pergeseran sensory image sekaligus menyodorkan ironi yang sering dijumpai tapi luput dari perenungan.

Pada haiku itu, Anita bermain dengan kata light dan night yang berima, kemudian dusk dan night yang sama ada di wilayah imaji visual. Suasana senja (dusk) yang ditandai oleh penurunan intensitas cahaya, dari siang yang penuh sinar matahari secara perlahan berubah menjadi remang-remang sebelum gelap sepenuhnya. "lighting the light" dan "dusk becomes night" adalah kontras yang muncul dari kemampuan Anita dalam memainkan teknik jukstaposisi.

Dengan pintar Anita menggunakan kata "light" dan "lamp" yang memberikan image mengenai kehidupan jauh dari wilayah urban, tanpa penerangan uar ruang yang cukup sehingga senja benar-benar menjadi jembatan antara terang (siang) dan gelap (malam). Ia tidak menggunakan "turn on" atau "switch on" dan "light" yang mengesankan adanya jaringan listrik yang urban dan mudah diasosiasikan dengan peneranghan luar ruang yang memadai. Bisa jadi, ide haiku ini datang saat Anita sedang ada di countryside, di pinggiran California, atau di tempat lain yang pada masa itu belum tercukup kebutuhan penerangannya oleh jaringan listrik. 

Sekarang, mari kita lihat isinya. Haiku ini secara tekstual menggambarkan datangnya cahaya (lighting the lamp) yang justru dikuti oleh hilangnya cahaya sehingga yang remang berubah menjadi gelap (dusk becomes night). Datangnya cahaya justru diikuti oleh datangnya kegelapan? Bukankah ini ironi? Ironi ini, bisa jadi akan muncul juga jika penanda waktunya kita ubah. Bukan senja, melainkan fajar (dawn). 

blowing the lamp
at dawn 

daylight

Buat saya, Anita seperti mengajak kita untuk berfikir mengenai sesuatu yang kita lakukan namun yang terjadi kemudian justru melawan esensi dari tindakan itu. Haiku itu mengingatkan saya pada pertanyaan-pertanyaan ini, "membunuh untuk menyelamatkan", "menggusur untuk membangun", "sangat mencintai tanpa ingin berbagi" dan berbagai pertanyaan sejenis.

Pertanyaan-pertanyaan itu saya yakin pernah terlintas di benak kita, entah kapan di masa lalu. Dan, Anita membangkitkan pertanyaan semacam itu, dengan cara yang sangat sederhana, dari sebuah momen yang sederhana pula. Kesederhanaan dan kedalaman semacam itu yang membuat haiku Anita Virgil melampaui visual imageries yang ditampilkannya.

Membaca tanka; makna cinta yang berlapis Kala Ramesh


Dengan cinta, siapapun bisa menjadi penyair. Anda boleh menanggapi kalimat itu dengan ringan hati sebagaimana mereka yang hanya berpuisi ketika perasaan berbunga-bunga. Tetapi, tidak semua puisi cinta bermuara pada trivia. Puisi-puisi yang ditulis oleh para imam sufi kerap menukik pada persoalan-persoalan esensial tentang cinta yang ilahiah melalui penggunaan berbagai metafor tentang percumbuan, dan percintaan. Pada kesempatan yang lain, puisi cinta bisa menjadi sangat liris tanpa kehilanga kedalaman. Tanka Kala Ramesh yang saya kutip di bawah ini adalah salah satu contohnya.

love
is an oasis
you say...
or does our thirst
play tricks on us?

Tanka itu saya temukan beberapa waktu silam saat memastikan publikasi naskah saya di blog sindikasi Akita Haiku Network yang dikelola oleh, Hidenori Hiruta. Naskah yang sama kembali saya temukan di galeri tanka di situs yang dikelola oleh Michael Mc Clintock, Mariko Kitakubo, Amelia Fielden, Tom Clausen, Jeanne Emrich dan Margareth Chula. 

Meskipun ditulis dengan gaya minimalis, tanka itu menunjukkan penguasaan Ramesh yang sangat baik terhadap teknik penulisan tanka. Padahal, menurut saya, Ramesh mengawali tankanya dengan sebuah pemerian cinta terasa klise. Cinta, sebuah oasis.

love 
is an oasis
you say...

Ketika berhenti membaca di akhir baris kedua, saya menangkap banyak hal dari "cinta" yang memabukkan, sekaligus dirindukan. Diperikan sebagai oasis, yang memberi refuge, memberi jeda pada perjalanan yang melelahkan. Pada tingkatan yang lebih spiritual, ia adalah jalan sufi untuk mencapai pembebasan. Lalu, oasis macam apakah yang dimaksud Ramesh? Oasis yang mendamaikan, menenteramkan, memberikan sejuk penawar dahaga? 

Setelah membaca sejumlah karyanya, saya menangkap muatan romantisisme pada Ramesh. Namun, saya belum menemukan catatan yang menunjukkan Ramesh menulis tanka ini sebagai sebuah alusi, sekalipun tiga baris pertama itu mengingatkan saya pada Le Voyage milik Charles Baudelaire. Pada akhir bait pertama Bagian VII Le Voyage, penyair Perancis romantik abad 19 itu menulis "Une oasis d'horreur dans un désert d'ennui!" A pool of dread in the desert of dismay. Apakah oasis yang dimaksud Ramesh adalah a pool of dread? Sebuah genangan penuh horor di tengah berbagai kekecewaan yang harus dilalui dalam hidup seperti teks Baudelaire? Sepertinya Ramesh tidak sedang menggurui kita dengan sebuah jawaban. Ia membiarkan pembaca menemukan sendiri oasis-nya. Di titik inilah kita bisa menangkap berlapis-lapis makna yang ada dalam tanka Ramesh itu.

does our thirst
play tricks on us?

Pada dua baris terakhir, Ramesh seperti mengingatkan kita mengenai cinta yang ilusif, sekaligus dipersepsikan secara salah. Apakah cinta? Cinta memberikan kesejukan, atau justru horor seperti oasis Baudelaire? Apakah cinta selalu menyejukkan? Di sinilah kita menemukan arti yang berlapis-lapis itu. Semakin kita menelusuri jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, kita mungkin akan sampai di ujung yang berbeda-beda. Selain makna yang berlapis-lapis itu, kita menemukan betapa pintar Ramesh bermain dengan teks dan teknik penulisan terlihat sederhana namun sebenarnya rumit. Lihatlah bagaimana ia memulai dengan kata love dan oasis yang menggoda kita dengan makna yang berlapis-lapis itu. Dan, di dua baris terakhir ia memberi kita teks yang menggelitik berbagai pertanyaan; apakah cinta sebuah oasis yang nyata? Apakah yang memberikan sensasi itu adalah cinta? Apakah rasa haus (thirst) berlebihan yang membuat kita menganggap semua yang indah adalah cinta? 

Sebagaimana rasa haus berlebihan karena dehidrasi, keinginan yang sangat bisa menurunkan kemampuan kita menafsirkan dan membuat kalkulasi atas sesuatu. Pada kasus cinta yang romantis, menurut laporan Psychology Today, lovers are often blind to the beloved's negative traits and tend to create an idealized image of the beloved. Seseorang yang dilanda cinta, cenderung lebih fokus pada hal-hal yang indah, baik dan ideal pada subjek yang dicintai. Tidak jarang, idealisasi terhadap subjek itu sampai pada tingkat yang fiksional, yang tidak nyata, condong pada sesuatu yang ada dalam ekspektasi daripada yang dihadapi dalam realitas. 

Pada tanka itu, Ramesh bermain dengan asosiasi antara oasis dengan cinta yang ilusif, dengan mirage yang lazim tertangkap oleh mata di dataran panas di bawah terik matahari. Pada seseorang yang melakukan perjalanan siang di gurun, misalnya, mirage kerap terlihat sebagai genangan air atau perigi pada sebuah oasis. Dan, sebagai gejala optikal, mirage adalah fenomena yang nyata, sebagai akibat dari pembelokan berkas cahaya oleh benda, udara atau partikel tertentu di atmosfer. Dalam kesadaran yang utuh, seseorang tidak mudah mengalami kesalahan persepsi terhadap image yang terbentuk oleh mirage. Namun, ketika kondisi tubuh lemah, otak yang kekurangan oksigen, kesadaran yang menurun, bentuk-bentuk yang tercipta oleh mirage bisa sangat meyakinkan. 

Sejauh berhubungan dengan cinta, segala sesuatu bisa sangat meyakinkan dan bisa juga sangat menipu. Dengan tanka yang ringkas, Ramesh bicara sebanyak itu. Bahkan mungkin lebih. Dan bagi saya pribadi, ini adalah tanka yang akan lama tinggal dalam ingatan.

Ramesh memiliki latar belakang akademik ilmu sejarah, politik dan sastra Inggris. Selain itu, ia juga seorang pemusik yang terlatih dalam tradisi musik Karnataka dan Hindustan. Ia berkenalan dan langsung jatuh cinta kepada haiku pada tahun 2005. Sejak itu, karirnya sebagai haikuist melesat cepat. Ia merebut berbagai penghargaan internasional, naskah-naskahnya diterbitkan oleh berbagai jurnal haiku yang disegani. Saat ini, ia menjadi editor haiku dan puisi pendek Muse India yang dipimpin oleh Surya Rao.

Membaca haiku; refleksi tentang kematian Carlos Colón


Tak lama setelah menulis post di grup Damselfly's Lament, tentang kriteria naskah yang diharapkan oleh editor The Heron's Nest, di edisi paling mutakhir jurnal itu saya menemukan haiku Carlos Colón berikut ini;

swept floor
the dust
I shall become

Haiku ini menjadi bahan yang saya ulas secara singkat di grup itu sebagai respon atas pertanyaan mengenai maksud dari kriteria interpenetrating the source of inspiration (no space between observer and observed.

Haiku, menurut Haruo Shirane, perlu memiliki "kerumitan" tertentu agar ia memiliki signifikansi sekaligus memuat cukup makna dalam bentuknya yang sangat ringkas. Kata Shirane, "if haiku is to rise to the level of serious poetry, literature that is widely respected and admired, that is taught and studied, commentated on, that can have impact on other non-haiku poets, then it must have a complexity that gives it depth and that allows it to both focus on and rise above the specific moment of time (Shirane, "Beyond the Haiku Moment:Basho, Buson and Modern Haiku Myths", Modern Haiku, XXXI:1, winter-spring 2000).

Inti gagasan Shirane dalam artikel itu sebenarnya sederhana; haiku tidak berhenti sebagai ekspresi penyair yang bersaksi terhadap pengalaman inderawi belaka. Untuk mendapatkan signifikansi dan kedalaman, penyair memperkaya haiku dengan metafor, simile, alusi, simbolisme dan bahkan realisme yang membuat teks melampaui pengalaman inderawi. Poetic devices itulah yang dgunakan untuk membawa pembaca berfikir tentang sesuatu yang menurut istilah Shirane, beyond haiku moment. 

Haiku Colón di muka memberi kita hal yang dimaksud Shirane itu. Colón berangkat dari pengalaman visual yang ia tuangkan pada baris pertama dengan minimalis; swept floor, lantai yang bersih, ruang yang rapi dan mungkin juga harum. Pada saat yang sama, baris pertama itu memberikan impresi tentang sesuatu yang hilang sebagai akibat dari proses yang acceptable, yang normal; debu yang hilang setelah lantai disapu. Dalam haiku, bisa jadi ini adalah ibarat "menulis A untuk menyebutkan B-Z", atau "ruang kosong yang memberi bentuk" dalam sumi-e.

Impresi tentang "sesuatu yang hilang" itu yang kemudian dikembangkan dalam frasa di baris 2-3 melalui refleksi penulis tentang --barangkali-- kematian, proses menjadi sesuatu yang baru, yang berbeda. Kata "dust" sendiri dengan mudah mengingatkan kita pada salah satu kutipan dari Kitab Kejadian (3:19) dan Yeheskiel (28;18) yang kerap kita dengar pada prosesi pemakaman Kristiani. Mereka yang familiar dengan iman kristiani, sepertinya akan mudah menangkap pesan Colón tentang kematian itu dan menjadikan haiku itu sesuatu yang memiliki signifikansi personal. Dan, pada saat itulah haiku Colón tidak lagi berbicara tentang penulisnya karena selain common experience dan common word yang ia gunakan memudahkan haiku itu menjadi bagian dari setiap orang. Siapakah yang akan terhindar dari kematian? Bukankah kematian adalah irreversible ending? Ada banyak pertanyaan lain yang bisa muncul kemudian.



Pertanyaan-pertanyaan dan sentimen yang muncul dari haiku itu menunjukkan bahwa Colón berhasil memperpendek jarak antara dirinya sendiri dengan subjek yang dia amati saat menemukan haiku moment itu. Haiku itu tidak hanya bicara tentang Carlos sebagai the observer, tetapi tentang semua orang yang percaya bahwa semua manusia akan mati, jasadnya membusuk atau menjadi abu ketika dikremasi, lalu menjadi pupuk yang menyuburkan bumi. Haiku ini tentang saya, tentang Anda juga, sehingga kita bisa menjadikan haiku ini sangat personal bagi kita masing-masing. Kita tidak lagi merasa haiku itu berbicara tentang Colón.

Di titik itulah, saya menangkap maksud dari no space between the observer and the observed. 

Membaca tanka; Mariko Kitakubo dan resilience


Di antara banyak nama koleganya, Mariko Kitakubo adalah penyair yang langsung membuat saya langsung jatuh cinta meskipun baru membaca sedikit karyanya. Lahir, tumbuh dan tinggal di Tokyo, Kitakubo mulai menulis tanka pada usia 14 tahun di bawah pengaruh Shuji Terayama and Mr. Kan Kasugai. Sepanjang karir kepenyairannya, Kitakubo terlibat dalam berbagai festival dan tanka, sekaligus menjadi penulis untuk berbagai jurnal internasional. Ia menerbitkan sejumlah buku dalam bahasa Inggris yang penerjemahannya ia percayakan kepada penyair-sahabatnya Amelia Fielden. Menurutnya, sejauh ini Amelia adalah satu-satunya penyair yang mampu menerjemahkan karya-karya Kitakubo tanpa kehilangan nafas dan citarasa aslinya.

Pada catatan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya membaca salah satu tanka Kitakubo yang diterbitkan di Ribbon, Vol. 8 No. 1, Spring/Summer 2012.

a year later
little by little
he starts
to talk about tsunami
sunset to the debris

Seperti terlihat dari susunannya, tanka Kitakubo tidak memiliki ciri konvensional; lain dari bentuk waka yang kemudian melahirkan haiku sebagai genre tersendiri. Pada waka atau tanka konvensional, pivot line lazim ada di baris ketiga yang hampir selalu menjadi pijakan untuk menulis dua baris berikutnya. Pola konvensional semacam ini, saya kira adalah bawaan tradisi penulisan melalui permainan haikai no renga atau renku yang melibatkan dua orang penyair. Kebanyakan tanka Shiki Masaoka, hasil penerjemahan Sanford Goldstein dan Seishi Shinoda dari Takenosato Uta misalnya, menunjukkan ciri itu;

as if to overwhelm the garden
the rose moss
has begun to bloom,
and from the cicadas at Ueno
noisy incessant cries 

from this face of mine
reflected in a mirror
I shape a head in clay
say, I've turned it
into an earthen bonze!

Dua tanka Shiki tersebut terlihat memiliki dua struktur; hokku pada tiga baris pertama yang bisa berdiri sendiri sebagai haiku sebagaimana yang kita kenal sekarang, dan wakiku pada dua baris terakhir yang memanfaatkan pivot line di baris ketiga untuk membentuk cocrete imagery.  Masih banyak karya Kitakubo yang memiliki ciri konvensional itu, namun sebagian lainnya berkembang dengan struktur yang beragam. Sekarang, mari kita amati tanka yang saya kutip di awal catatan ini.

Tanka Kitakubo itu ditulis selang setahun setelah gempa besar bermagnitude 9 melanda Jepang disusul tsunami yang merusak reaktor nuklir Fukushima Daiichi. Ribuan orang meninggal dan kehilangan tempat tinggal menutup kalender musim dingin di negeri itu. Namun, dibanding kasus-kasus bencana di Indonesia, kerusakan masif akibat tsunami dan gempa di Jepang konon tidak diikuti oleh haru biru dan eksploitasi airmata melalui layar televisi. Mereka yang hidup di negeri dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi itu menghadapinya dengan tabah. Mereka tidak larut dalam kecengengan, sekalipun bantuan dan solidaritas mengalir dari berbagai penjuru dunia. 

Kendati begitu, meskipun sudah diduga, bencana tetaplah bencana yang meninggalkan trauma pada korban-nya. Tsunami di Jepang bukanlah pengecualian. Berita-berita yang sempat saya simak belakangan mengabarkan banyaknya relawan seniman yang turun memberikan layanan pemulihan pasca trauma psikologis (trauma healing). Salah satu yang mereka lakukan adalah mengolah bebatuan yang berserakan akibat gempa. Mereka memilih bebatuan yang bagus dan membentuknya menjadi suzuri yang digunakan untuk memproduksi cairan tinta (sumi) dengan cara menggosokkan tinta batangan pada permukaannya, dengan tambahan sedikit air tentu saja. Batu bungkal atau suzuri ini adalah satu dari four treasures dalam seni kaligrafi atau sumi-e selain kuas (fude), rice paper dan tinta.

Upaya pemulihan tidak selalu mudah dan bisa selesai cepat. Di Aceh, yang dilanda tsunami pada akhir 2004, seorang perempuan yang kehilangan keluarganya masih sering tiba-tiba menjerit histeris pada tahun 2009. Karenanya, waktu setahun pemulihan pasca trauma yang dicatat oleh tanka Kitakubo dapat dibilang cukup cepat. Pemulihan? Ya, seperti yang ditulis Kitakubo, salah satu penanda pemulihan trauma adalah kemampuan korban (survivor) membicarakan penyebab luka psikologis itu. Semakin resilient seseorang, semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk pulih dan menjalani kehidupan pasca bencana secara normal. Hal yang sama berlaku pula pada tingkat komunitas.

Resilience pada tataran komunitas ini, antara lain ditunjukkan oleh interaksi sosial yang tetap baik meskipun dalam situasi berantakan. Seperti dilaporkan ABC News, masyarakat Jepang yang menjadi korban tsunami mau menunggu berjam-jam sebelum mendapatkan bantuan, atau antri di depan toko yang masih buka untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Mereka hanya sedikit jengkel tapi tidak saling jegal, saling sikut dan saling jarah seperti yang terjadi Haiti dan New Orleans.  

a year later
little by little
he starts
to talk about tsunami

Dan empat baris pertama tanka Kitakubo bercerita tentang resilience yang memungkinkan seseorang bangkit setelah jatuh. Dan, "dia" dalam tanka itu sedikit demi sedikit membicarakan tsunami yang mungkin mengambil harta, kekasih dan keluarga yang dicintai. Sebagai pembaca yang bukan warga Jepang, kita dapat memproyeksikan image itu pada kasus-kasus kejadian bencana dan sesudahnya yang terjadi di negeri ini. Boleh jadi, yang muncul dalam fikiran kita adalah citra yang kontras dan memalukan; masyarakat yang merengek-rengek berkepanjangan dan pemerintah yang lamban dan kerap bertindak bodoh dalam memberikan respon terhadap bencana.

Dalam wawancaranya dengan Robert D. Wilson dari Simply Haiku, Kitakubo menekankan pentingnya baris keempat dan kelima, dan terutama sekali baris terakhir. Dan, pada kasus haiku yang saya bicarakan ini, terasa benar peran baris kelima, sebagai baris penutup sekaligus pembawa pesan kunci yang ada pada keseluruhan puisinya itu. 

sunset to the debris

Baris penutup ini melengkapi sensitivitas Kitakubo sebagai penyair yang mencatat, yang memberi kesaksian terhadap sebuah peristiwa. Ia menangkap ambience dari penuturan "dia" tentang tsunami yang melukai. Tanka ini terasa murung namun ada kekuatan dan harapan yang dituturkan.

Membaca haiku; Nouveau riche Robert Spiess


Robert Spiess adalah nama besar di kalangan haikuist Amerika dan Eropa. Lahir pada pertangahan Oktober 1921, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Maret 2002. Menulis haiku pertamanya pada usia 27 tahun, Spiess tumbuh menjadi penyair dengan reputasi besar berkat buku-buku dan dedikasinya terhadap haiku. Ia menerima berbagai penghargaan internasional, dan namanya diabadikan untuk penghargaan yang diberikan oleh Modern Haiku kepada haiku yang paling menonjol dalam setiap terbitan jurnal itu.

Pada tahun 1969, Modern Haiku mempublikasikan beberapa haiku Spiess, sepuluh tahun sebelum dia sendiri dipercaya menjadi editornya. Salah satu yang ingin saya ulas di sini ada di halaman 18, Modern Haiku edisi Winter 1969. Haiku Spiess ini terselip di antara beberapa haiku lain yang tidak dimasukkan ke dalam kategori Eminent Mention maupun Special Mention, yang ketika itu berarti hadiah uang $10 atau langganan gratis jurnal tersebut selama satu tahun (4 edisi). Hadiah yang cukup besar untuk ukuran jurnal haiku, pada saat itu maupun sekarang ini, karena kebanyakan jurnal haiku --tidak terkecuali yang digawangi oleh para editor jempolan-- tidak memberikan kompensasi materi apapun. 

Newly rich and proud
--unaware that each lampshade
    is showing its seam

Haiku ini mengadaptasi meter pada haiku tradisional Jepang dengan 17 onji, sehingga hitungan suku katanya menjadi sama persis. Lainnya, Spiess secara tidak lazim menambahkan em dash pada awal baris kedua, jika ini dianggap sebagai bentuk adaptasi kireji yang lazim ada di akhir baris dalam haiku berbahasa Jepang yang ditulis dengan romanji.

Meskipun terlihat berpatron tradisi haiku Jepang, Spiess tidak menggunakan kigo yang menjadi ciri seasonal haiku. Ini bukan hal aneh dalam haiku berbahasa Inggris (ELH) karena tidak sedikit kalangan yang "menyimpang" dari aturan-aturan tradisional haiku. Dengan melucuti kigo dari haiku, mereka mendorong genre ini ke wilayah yang lebih bisa diterima oleh banyak orang, terutama penduduk di negara-negara tropik, yang tidak memiliki penanda musim tipikal kawasan subtropik. Sebagian lain ada yang mencoba memoderasi konsep kigo menjadi sekadar topik atau subjek-subjek yang menjadi ciri kultural pada masyarakat tertentu. Anggap saja sebagai misal, haikuist Indonesia bisa menjadikan durian atau mangga sebagai ekuivalen untuk kigo, atau sekaten di Jogja bisa menjadi penanda budaya lokal.

Selain non seasonal, haiku Spiess ini terasa seperti senryu; satir tentang tabiat manusia. Mari kita simak mulai baris pertama;

Newly rich and proud

Baris pertama memperlihatkan sisi manusiawi yang kerap menjadi satir; kebanggaan terhadap keberhasilan diri sendiri dan keinginan untuk memperlihatkan kepada orang lain. Semacam naluri untuk pamer yang melekat pada seseorang sebagaimana diwakili oleh istilah newly rich, orang kaya baru. Nouveau riche, newly rich atau OKB menunjuk seseorang dari kelas sosial yang lebih rendah, yang mendapatkan kemakmuran melalui tanggannya sendiri, bukan diwariskan oleh orang tuanya. Lebih dari itu, nouveau riche juga menunjuk pada perilaku konsumtif mereka yang vulgar. Secara sosiologis, nouveau riche dianggap membawa kebiasaan dan nilai berbeda dibanding orang-orang yang secara turun-temurun memang kaya raya (Old money). Di masyarakat Amerika tahun 60an, nouveau riche memang mengandung stereotip yang tidak menyenangkan akibat dari respon kalangan elit lama yang menguasai ekonomi dan kawasan-kawasan eksklusif negeri itu. Pada baris pertama, Spiess berbicara banyak mengenai pertumbuhan masyarakat Amerika yang selama 30 tahun memulihkan diri dari kehancuran akibat Depresi Besar tahun 1929. 

--unaware that each lampshade
    is showing its seam

Pada baris kedua dan ketiga, Spiess menyodorkan kontras yang terlihat pada kaum nouveau riche; kegagapan-kegagapan menghayati pengalaman pada status sosial yang baru. Semacam anomie, yang lazim dialami oleh seseorang sebelum berhasil menyesuaikan diri dengan status sosial baru dan kebiasaan dan nilai-nilai yang khas. Lihatlah bagaimana Spiess secara sangat lembut memilih cara pengungkapan simbolik berupa jahitan yang tidak rapi pada kap lampu si OKB. 

Selain vulgar dalam menunjukkan kemakmurannya, kaum OKB juga berselera rendah dalam pandangan elit lama Amerika kala itu. Dan, para OKB tidak menyadari hal itu, atau, dari cara pandang yang lebih netral, mereka memang tidak melihatnya sebagai persoalan. Stereotyping itu yang ditampilkan oleh Spiess melalui "lampshade showing its seam". Pada cakupan yang lebih luas, unawareness pada haiku Spiess sebenarnya menegaskan bahwa mobilitas spasial, kultural maupun sosial bisa berimplikasi lag dalam berbagai bentuknya.

Kata lampshade pada baris kedua mengingatkan kita pada Masaoka Shiki, yang menulis haiku pada lembar-lembar kertas yang digunakan pada peneduh lampu, setelah ia menjauhkan buku catatan yang biasa ia gunakan menulis puisi. Beichman, dalam Masaoka Shiki; His Life and Works menulis bahwa Shiki adalah contoh penyair besar yang secara akademik gagal. Shiki, seperti dikutip Beichman, mengaku kesulitan menahan diri untuk tidak menulis haiku, sekalipun ia tengah menghadapi ujian. Keinginannya untuk lulus kuliah memaksanya meninggalkan buku puisinya. Katanya, "setiap kali aku membuka buku catatan itu, rangkaian haiku berisi 17 suku kata mendadak muncul dalam fikiran sehingga aku harus menjauhinya."  Selanjutnya, Shiki mengakui kegagalannya secara akademik di Fakultas Sastra Universitas Tokyo karena dorongan yang terlalu kuat untuk menulis haiku. "Ujian tidak berarti apa-apa untukku ketika yang muncul kemudian adalah haiku. Aku tersihir oleh haiku dan tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Aku gagal ujian akhir pada tahun 1892 dan akhirnya drop out." Spiess, entah seberapa besar hubungannya dengan haiku di atas, menerima penghargaan Shiki Masaoka International Haiku Prize pada tahun 2000 untuk dedikasinya yang tak terbantahkan dalam menyebarluaskan haiku di luar asal muasal genre itu. 

Sejauh ini haiku Spiess memang tidak menunjuk pada lapisan tertentu yang mudah dikenali identitasnya. Namun, konteks situasi Amerika pada akhir dekade 60an dan 70an ditandai oleh munculnya gerakan protes dari warga Afroamerican  yang memunculkan Malcolm X sekaligus menjadikan Casius Clay, petinju yang belakangan mengganti namanya menjadi Muhammad Ali, menjadi legenda dari keterlibatannya dalam aktifitas politik kulit hitam. Mereka, warga Afroamerican dan juga warga keturunan Amerika Latin (hispanic) ketika itu adalah warga kelas dua. Karenanya, bisa jadi Spiess berbicara mengenai kemunculan warga kulit hitam dan hispanik yang meraih kesuksesan dan kesejahteraan dengan cara mereka; tinju, blues dan bola basket. Meskipun bisa dianggap membawa bias elit lama dan kulit putih Amerika, haiku Spiess adalah kesaksian mengenai jarak antara elit lama dengan para nouveau riche. 

Saya tidak tahu apakah nouveau riche dalam lanskap sosial politik dan ekonomi Amerika saat ini masih berkonotasi sama seperti 50 tahun silam.