Tak lama setelah menulis post di grup Damselfly's Lament,
tentang kriteria naskah yang diharapkan oleh editor The Heron's Nest, di edisi
paling mutakhir jurnal itu saya menemukan haiku Carlos Colón berikut ini;
swept floor
the dust
I shall become
Haiku ini menjadi bahan yang saya ulas secara singkat di grup
itu sebagai respon atas pertanyaan mengenai maksud dari kriteria interpenetrating
the source of inspiration (no space between observer and observed.
Haiku, menurut Haruo Shirane, perlu memiliki
"kerumitan" tertentu agar ia memiliki signifikansi sekaligus memuat
cukup makna dalam bentuknya yang sangat ringkas. Kata Shirane, "if haiku
is to rise to the level of serious poetry, literature that is widely respected
and admired, that is taught and studied, commentated on, that can have impact
on other non-haiku poets, then it must have a complexity that gives it depth
and that allows it to both focus on and rise above the specific moment of time
(Shirane, "Beyond the Haiku Moment:Basho, Buson and Modern Haiku
Myths", Modern Haiku, XXXI:1, winter-spring 2000).
Inti gagasan Shirane dalam artikel itu sebenarnya sederhana;
haiku tidak berhenti sebagai ekspresi penyair yang bersaksi terhadap pengalaman
inderawi belaka. Untuk mendapatkan signifikansi dan kedalaman, penyair
memperkaya haiku dengan metafor, simile, alusi, simbolisme dan bahkan realisme
yang membuat teks melampaui pengalaman inderawi. Poetic devices itulah yang
dgunakan untuk membawa pembaca berfikir tentang sesuatu yang menurut istilah
Shirane, beyond haiku moment.
Haiku Colón di muka memberi kita hal yang dimaksud Shirane
itu. Colón berangkat dari pengalaman visual yang ia tuangkan pada baris
pertama dengan minimalis; swept floor, lantai yang bersih, ruang yang rapi dan
mungkin juga harum. Pada saat yang sama, baris pertama itu memberikan
impresi tentang sesuatu yang hilang sebagai akibat dari proses yang acceptable,
yang normal; debu yang hilang setelah lantai disapu. Dalam haiku, bisa jadi ini
adalah ibarat "menulis A untuk menyebutkan B-Z", atau "ruang
kosong yang memberi bentuk" dalam sumi-e.
Impresi tentang "sesuatu yang hilang" itu yang
kemudian dikembangkan dalam frasa di baris 2-3 melalui refleksi penulis tentang
--barangkali-- kematian, proses menjadi sesuatu yang baru, yang
berbeda. Kata "dust" sendiri dengan mudah mengingatkan kita pada
salah satu kutipan dari Kitab Kejadian (3:19) dan Yeheskiel (28;18) yang kerap
kita dengar pada prosesi pemakaman Kristiani. Mereka yang familiar dengan iman
kristiani, sepertinya akan mudah menangkap pesan Colón tentang kematian
itu dan menjadikan haiku itu sesuatu yang memiliki signifikansi personal. Dan,
pada saat itulah haiku Colón tidak lagi berbicara tentang penulisnya
karena selain common experience dan common word yang ia gunakan memudahkan
haiku itu menjadi bagian dari setiap orang. Siapakah yang akan terhindar dari
kematian? Bukankah kematian adalah irreversible ending? Ada banyak pertanyaan
lain yang bisa muncul kemudian.
Pertanyaan-pertanyaan dan sentimen yang muncul dari haiku itu
menunjukkan bahwa Colón berhasil memperpendek jarak antara dirinya sendiri
dengan subjek yang dia amati saat menemukan haiku moment itu. Haiku itu
tidak hanya bicara tentang Carlos sebagai the observer, tetapi tentang semua
orang yang percaya bahwa semua manusia akan mati, jasadnya membusuk atau
menjadi abu ketika dikremasi, lalu menjadi pupuk yang menyuburkan bumi. Haiku
ini tentang saya, tentang Anda juga, sehingga kita bisa menjadikan haiku ini
sangat personal bagi kita masing-masing. Kita tidak lagi merasa haiku itu
berbicara tentang Colón.
Di titik itulah, saya
menangkap maksud dari no space between the observer and the observed.
No comments:
Post a Comment