Wednesday, January 9, 2013

Membaca haiku; refleksi tentang kematian Carlos Colón


Tak lama setelah menulis post di grup Damselfly's Lament, tentang kriteria naskah yang diharapkan oleh editor The Heron's Nest, di edisi paling mutakhir jurnal itu saya menemukan haiku Carlos Colón berikut ini;

swept floor
the dust
I shall become

Haiku ini menjadi bahan yang saya ulas secara singkat di grup itu sebagai respon atas pertanyaan mengenai maksud dari kriteria interpenetrating the source of inspiration (no space between observer and observed.

Haiku, menurut Haruo Shirane, perlu memiliki "kerumitan" tertentu agar ia memiliki signifikansi sekaligus memuat cukup makna dalam bentuknya yang sangat ringkas. Kata Shirane, "if haiku is to rise to the level of serious poetry, literature that is widely respected and admired, that is taught and studied, commentated on, that can have impact on other non-haiku poets, then it must have a complexity that gives it depth and that allows it to both focus on and rise above the specific moment of time (Shirane, "Beyond the Haiku Moment:Basho, Buson and Modern Haiku Myths", Modern Haiku, XXXI:1, winter-spring 2000).

Inti gagasan Shirane dalam artikel itu sebenarnya sederhana; haiku tidak berhenti sebagai ekspresi penyair yang bersaksi terhadap pengalaman inderawi belaka. Untuk mendapatkan signifikansi dan kedalaman, penyair memperkaya haiku dengan metafor, simile, alusi, simbolisme dan bahkan realisme yang membuat teks melampaui pengalaman inderawi. Poetic devices itulah yang dgunakan untuk membawa pembaca berfikir tentang sesuatu yang menurut istilah Shirane, beyond haiku moment. 

Haiku Colón di muka memberi kita hal yang dimaksud Shirane itu. Colón berangkat dari pengalaman visual yang ia tuangkan pada baris pertama dengan minimalis; swept floor, lantai yang bersih, ruang yang rapi dan mungkin juga harum. Pada saat yang sama, baris pertama itu memberikan impresi tentang sesuatu yang hilang sebagai akibat dari proses yang acceptable, yang normal; debu yang hilang setelah lantai disapu. Dalam haiku, bisa jadi ini adalah ibarat "menulis A untuk menyebutkan B-Z", atau "ruang kosong yang memberi bentuk" dalam sumi-e.

Impresi tentang "sesuatu yang hilang" itu yang kemudian dikembangkan dalam frasa di baris 2-3 melalui refleksi penulis tentang --barangkali-- kematian, proses menjadi sesuatu yang baru, yang berbeda. Kata "dust" sendiri dengan mudah mengingatkan kita pada salah satu kutipan dari Kitab Kejadian (3:19) dan Yeheskiel (28;18) yang kerap kita dengar pada prosesi pemakaman Kristiani. Mereka yang familiar dengan iman kristiani, sepertinya akan mudah menangkap pesan Colón tentang kematian itu dan menjadikan haiku itu sesuatu yang memiliki signifikansi personal. Dan, pada saat itulah haiku Colón tidak lagi berbicara tentang penulisnya karena selain common experience dan common word yang ia gunakan memudahkan haiku itu menjadi bagian dari setiap orang. Siapakah yang akan terhindar dari kematian? Bukankah kematian adalah irreversible ending? Ada banyak pertanyaan lain yang bisa muncul kemudian.



Pertanyaan-pertanyaan dan sentimen yang muncul dari haiku itu menunjukkan bahwa Colón berhasil memperpendek jarak antara dirinya sendiri dengan subjek yang dia amati saat menemukan haiku moment itu. Haiku itu tidak hanya bicara tentang Carlos sebagai the observer, tetapi tentang semua orang yang percaya bahwa semua manusia akan mati, jasadnya membusuk atau menjadi abu ketika dikremasi, lalu menjadi pupuk yang menyuburkan bumi. Haiku ini tentang saya, tentang Anda juga, sehingga kita bisa menjadikan haiku ini sangat personal bagi kita masing-masing. Kita tidak lagi merasa haiku itu berbicara tentang Colón.

Di titik itulah, saya menangkap maksud dari no space between the observer and the observed. 

No comments:

Post a Comment